Perairan Sangihe, 30 November 2025
Latar Belakang Pengawasan
Kawasan konservasi perairan Sangihe merupakan bagian integral dari Jalur Strategis ALKI III, yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Laut Banda dan Selat Malaka. Wilayah ini kaya akan biodiversitas laut, termasuk terumbu karang endemik, penyu hijau, dan ikan karang yang dilindungi, serta berfungsi sebagai koridor migrasi paus dan hiu. Pengawasan rutin dilakukan oleh Kapal Pengawas Hiu 15 untuk mencegah aktivitas ilegal seperti penangkapan ikan dengan alat destruktif, penambangan pasir laut, atau pembangunan infrastruktur tanpa izin yang dapat mengganggu ekosistem konservasi.
Pada tanggal 30 November 2025, pukul 15:37 WITA, Kapal Hiu 15 melaksanakan patroli rutin di zona konservasi dengan jarak pantau sekitar 50 mil laut dari Stasiun PSDKP Tahuna. Pengamatan dilakukan menggunakan radar kapal, teleskop optik, dan aplikasi Marine Traffic untuk verifikasi data kapal.
Prosedur Pengamatan
Patroli dimulai dari posisi awal di perairan timur Pulau Sangihe, dengan kecepatan 12 knot menuju titik koordinat 03°45'N 125°30'E. Tim pengawas terdiri dari 13 personel, termasuk navigator, operator radar, dan pengamat visual. Pengamatan difokuskan pada objek mencurigakan di permukaan laut, dengan prioritas pada struktur buatan manusia yang berpotensi melanggar regulasi konservasi sesuai UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 30 Tahun 2010 tentang Kawasan Konservasi Laut.
Data pendukung diambil melalui:
- Foto dan video untuk dokumentasi visual.
- Sinkronisasi dengan sistem AIS (Automatic Identification System) dan aplikasi Marine Traffic.
Temuan Utama
Pada pukul 16:00 WITA, terdeteksi objek besar di jalur ALKI III, sekitar 15 mil laut dari Pulau Sangihe. Objek ini merupakan struktur buatan manusia berskala sangat besar, menyerupai anjungan lepas pantai (offshore platform) dengan dimensi perkiraan 150x100 meter. Struktur dilengkapi beberapa tiang penopang vertikal (minimal 8 tiang, diameter 3-5 meter) dan fasilitas dek atas permukaan laut, termasuk crane, tangki penyimpanan, dan peralatan berat yang menandakan fungsi industri.
Awalnya, kehadiran struktur ini dicurigai terkait kegiatan eksplorasi atau eksploitasi sumber daya alam ilegal, seperti pengeboran minyak/gas atau penambangan seabed, yang berpotensi merusak ekosistem konservasi. Namun, setelah pengamatan seksama dengan teropong binokuler pada jarak 4-6 mil laut (pukul 16:00 WITA), teridentifikasi bahwa struktur sedang dalam proses transportasi. Sebanyak 5 kapal tugboat ukuran besar terlibat dalam operasi penarikan:
- 1 kapal utama Anchor Handling Vessel (AHV) berbendera Malta, GT 3732, nama [dari data: MV Ocean Handler].
- 4 kapal pendukung AHV dengan ukuran serupa, berfungsi sebagai booster tarik.
Kecepatan gerak konvoi sekitar 5 knot, searah timur-selatan menuju Dili, Timor Leste. Verifikasi melalui aplikasi Marine Traffic menunjukkan:
- Keberangkatan: Yantai, Cina, pada 3 November 2025.
- ETA Dili: 8 Desember 2025 (sudah lewat, kemungkinan delay).
- Tujuan akhir: Australia (kemungkinan instalasi lepas pantai di Laut Arafura).
Tidak teramati tanda-tanda aktivitas operasional di struktur, seperti pengeboran atau pembuangan limbah, sehingga risiko langsung terhadap kawasan konservasi rendah.
Analisis dan Dampak Potensial
Struktur ini kemungkinan merupakan modul semi-submersible platform untuk proyek energi lepas pantai, yang sedang ditransportasi lintas negara. Meski tidak melanggar batas konservasi saat ini, kehadirannya di ALKI III menimbulkan risiko:
- Gangguan navigasi kapal nelayan lokal.
- Potensi tabrakan dengan terumbu karang jika terjadi drift.
- Ancaman jangka panjang jika rute serupa diulang tanpa koordinasi dengan otoritas Indonesia.
Data Marine Traffic dikonfirmasi akurat, dengan sinyal AIS stabil. Tidak ada pelanggaran berat terdeteksi, tetapi operasi ini wajib dilaporkan untuk verifikasi izin lintas wilayah oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).







